Pertama-tama, kebingungan yang cenderung kita temukan dalam masyarakat adalah apa sesungguhnya “kecerdasan” itu. Sebagai contoh, seorang pembaca artikel saya berjudul “Mengapa Manusia ada?” menyebutnya sebagai “Suatu kebodohan yg menyesatkan”, sementara di sisi lain, tunangan saya menyebutnya “penjelasan paling rasional yang saya temukan dari sampel di Universitas saya.” Contoh lain mungkin anda pernah mendengar kalimat “Dia skor tes IQ nya tinggi, tapi ia tidaklah secerdas itu,” atau bahkan “wah, itu pintar banget.”
Sering   kali, kritik mengenai uji kecerdasan datang dari ketidakpercayaan pada   ilmuan psikologi dan permainan mentalnya. Lihat saja di film barat,   berapa sering sih seorang psikolog menjadi orang baik (protagonis)   ketimbang orang jahat (antagonis). Sering juga ditunjukkan di film kalau   prediksi seorang psikolog salah ketimbang benar.
Gambaran   yang benar adalah kemajuan ilmu psikologi sama dengan ilmu lainnya, ia   tidak sempurna. Tes IQ dan skor IQ tidaklah sempurna. Ia menunjukkan   nilai dari sebuah bagian dari kecerdasan, bukan seluruh bagian dari kecerdasan.
Apa sebenarnya IQ itu?
Tergantung   siapa yang anda tanya. Banyak orang bahkan selain psikolog klinis tau   kalau pengukuran kemampuan kognitif pertama yang diterima luas adalah   yang dikembangkan psikolog Prancis, Binet, saat ia ditugasi pemerintah   meningkatkan layanan pada anak-anak sekolah yang mengalami gangguan   perkembangan. Lewis Terman dari Stanford memperbaikinya, dan menciptakan   apa yang dinamakan Stanford-Binet, yang bila anda cukup tua sekarang,   pernah anda dapatkan saat anda masuk sekolah kejuruan. Ada juga tipe  tes  lain seperti Wechsler, misalnya WAIS-IV untuk dewasa dan WISC-IV  untuk  anak-anak.
Di masa kini,  Charles  Spearman, salah satu tokoh besar psikologi, menemukan kalau  saat kita  memberikan jenis tes kecerdasan tertentu – misalnya untuk  merancang  desain bangunan atau memecahkan masalah logika  – skornya  berbeda, namun saling berkorelasi dengan kuat. Kesimpulannya  adalah  adanya faktor utama dibalik tes-tes ini, dengan faktor kecil di   puncaknya yang menyetel skor sedikit lebih tinggi atau rendah – faktor   utama  ini dinamakan  g, atau “kecerdasan umum (general). Gagasan g masih digunakan sekarang. IQ adalah skor yang diberikan tes kepada kita; g adalah   konstruksi tersembunyi yang tidak dapat kita ukur secara langsung. Ia   tercermin sebagian dalam skor IQ. Tujuan ahli psikologi klinis dan   kognitif dalam merancang tes IQ sekarang adalah mendekati g sedekat mungkin.
Bagi sebagian besar psikolog, melihat g   seperti melihat pornografi. Kamu tahu itu porno, tapi kamu tidak dapat   mendefinisikannya. David Wechler mencoba memberi definisi, menurutnya g   adalah “kapasitas global atau agregat dari individu untuk bertindak   berdasarkan tujuan, berpikir rasional dan mengatasi lingkungannya dengan   efektif.” Ia adalah kemampuan alat bernalar anda untuk beradaptasi   dengan lingkungan, atau pada semacam lingkungan yang mungkin ada.
Berdasarkan  definisi Wechler,  perbandingan IQ antar spesies adalah hal yang konyol.  Seekor monyet  jauh lebih cerdas dari kita dalam hal lingkungan dan  hidupnya.   Konstruk ini terletak antara nyata dan khayal. Ia membawa  sebagian  maknanya dari hubungannya ke hal lain yang tampak ada secara  pasti di  dunia nyata: pencapaian akademis dan pekerjaan misalnya.  Definisi ini  banyak dikritik karena ia tidak ilmiah, dalam artian tidak  memiliki  nilai prediktif. Prediksi apa yang bisa dihasilkan dari  definisi g  Wechler? Setiap orang dapat tes IQ, nilainya hanya  mencerminkan  lingkungannya. Itu saja. Ia tidak lebih pintar dan tidak  lebih bodoh.  Lalu apa gunanya tes IQ?
Karenanya  banyak psikolog  menarik diri ke konsep sebelumnya dari Stanford-Binet.  Dalam konsep  ini, mereka dapat memprediksikan kalau seorang anak  mengalami masalah  membaca, masalah bernalar secara spasial, dll. Dengan  demikian, nilai  IQ seseorang dapat menjadi langkah pertama untuk  mengenali masalah yang  dihadapinya dan mencari jalan bagaimana dunia  pendidikan dapat  mengatasinya.
Kita  bisa mengambil analogi  otak sebagai komputer. Orang ber IQ tinggi  berarti prosesornya cepat  dan RAM nya tinggi. Itu saja. Bukan berarti  sebuah software virus tidak  dapat masuk kedalamnya. Orang ber IQ tinggi  tidaklah kebal terhadap  penyakit mental ataupun kesedihan, tidak pula ia  menjamin mampu membuat  orang tersebut sukses dalam berkarir dan  berkeluarga (yang merupakan  masalah konkrit).  Malahan, kehidupan kita  didominasi sebagian besar  oleh masalah konkrit atau apa yang di  istilahkan orang sebagai  “kecerdasan terkristalisasi”.

Contoh soal tes IQ
Dapatkah IQ ditingkatkan?
Dalam   studi kecerdasan, ada yang namanya Efek Flynn. Dr. Flynn menemukan   kalau IQ meningkat rata-rata 30 point setiap 100 tahun. Kita lebih   cerdas dalam sebagian hal daripada kakek-nenek kita.
Peningkatan   ini jelas terlalu tinggi kalau hanya karena genetik. Kakek-nenek kita   memiliki gen yang hampir sama dengan kita. Karenanya, perbedaan IQ 30   point ini karena lingkungan dan belajar.
Dr.   Flynn menjelaskan perbedaan ini adalah perbedaan dalam belajar  berpikir  abstrak. Leluhur kita hidup di Bumi sebagai orang praktis yang  harus  berkonsentrasi untuk masalah konkrit, masalah hidup sehari-hari.  Tes IQ  adalah tes yang abstrak. Sekarang, kita diajarkan berpikir  secara  abstrak. Akibatnya skor tes IQ kita meningkat.
Berpikir abstrak adalah berpikir dengan generalisasi dan abstraksi logis, sementara berpikir konkrit adalah berpikir langsung (literal) dan terikat pada kesan dari indera saat itu.
Tes   IQ yang dianalisa untuk Singapura misalnya menunjukkan peningkatan IQ   yang tinggi sekali dibandingkan Indonesia (106 vs 86). Berdasarkan efek   Flynn, ini tidak ada artinya. Yang bisa kita katakan adalah, orang di   Singapura memiliki lingkungan dan pembelajaran lebih menunjang  abstraksi  daripada orang di Indonesia. Orang Indonesia masih sibuk  mengurusi  masalah hidup sehari-hari, sementara orang Singapura sudah  memainkan  berbagai rumus matematika dalam kesehariannya.
Efek  Flynn juga  menjelaskan mengapa laki-laki ateis dan liberal memiliki IQ  lebih  tinggi 6 hingga 11 point daripada laki-laki teis dan konservatif.  Hal  ini karena ateisme umumnya merupakan perpindahan dari posisi teisme,  ia  dibuat berdasarkan pemikiran abstrak seperti logika dan pemikiran   kritis. Saya rasa akan sangat kecil kemungkinan kalau seorang menjadi   ateis semata ikut-ikutan atau doktrin dari orang tuanya, yang merupakan   pemikiran konkrit.
Tentu saja,  karena  pemikiran abstrak menggunakan otak sebagai organ utama, maka  gangguan di  otak di daerah bersangkutan dapat berakibat pada dua  kemungkinan  meningkatknya skor IQ atau menurunnya skor IQ. Gangguan ini  dapat  bersifat langsung atau tidak langsung, misalnya lewat nutrisi.  Gangguan  kesehatan seperti anemia sel sabit dan multiple sklerosis  terbukti  menurunkan kemampuan berpikir abstrak dan akibatnya menurunkan  skor IQ.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar